Plastik sebagai sampah merupakan komponen ketiga terbanyak setelah organik dan kertas. Namun sangat sulit terurai, dibandingkan kedua komponen jenis lainnya. Curah hujan, mikroba, maupun panas matahari juga tidak mampu menguraikan plastik.
Kendati sejumlah penelitian sudah dilakukan, namun belum memperoleh hasil yang menggembirakan. Tidak heranlah, berbagai LSM yang bermisi lingkungan menjadikannya sebagai prioritas utama. Sampai-sampai ada di antara mereka merekomendasikan kemasan tanpa plastik.
Terlebih, limbah plastik memberikan kontribusi besar terhadap banjir. Karena massa jenisnya kebanyakan lebih besar daripada air, ia cenderung terangkat ke permukaan sehingga terjadilah penyumbatan di sana-sini. Maka banjir pun tidak terelakkan lagi. Dalam mengurangi jumlahnya, banyak orang membakar plastik. Tetapi akibatnya polusi udara kian parah.
Mitos yang slama ini tertanam pada konsumen tentang plastik adalah bisa memberikan jaminan kebersihan lebih baik pada produk yang dikemasnya. Tetapi untuk apa semua itu bila masih mencemari lingkungan yang akibatnya harus mereka tanggung.
Di sinilah dilemanya. Apalagi jenis plastik sudah semakin beragam. Maklum, plastik mempunyai banyak keunggulan, yaitu ringan, transparan, tahan air, elastis, dan harga murah. Sehingga memotivasi orang mengimprovisasinya.
Memang sudah ada insiatif melakukan daur ulang plastik sampai menghasilkan produk baru. Tetapi tidak semuanya berhasil. Beberapa jenis limbahnya belum bisa tertangani, karena menuntut rumusan khusus yang ujung-ujungnya harus mengeluarkan biaya tinggi dan alat berat.
Sampai detik ini daur ulang plastik unggulan adalah dengan mencampur semua jenisnya. Kemudian menjalani proses pelelehan pada suhu tertntu. Akhirnya dimasukkan ke dalam cetakan.
Ilmuwan Jerman tampaknya tidak puas dengan daur ulang plastik seperti sekarang ini. Katanya, masih ada lagi yang lebih praktis dan lebih prospektif, yaitu "Feedtock Recycling" (FR). Pada sistem konvensional (mekanik) itu rantai panjang hidrokarbon (polimer) sebagai unsur penyusun plastik kembali seperti awal. Sedangkan dengan "FR", rantai panjang' Hidrokarbon bisa dipecah se- pendek mungkin dan seunik mungkin, sehingga hanya menyisakan "karbonmonoksida dan hidrogen", yang selanjutnya menjadi bahan dasar proses plastik.
Kemudian bila diolah akan terbentuklah bahan produksi dengan mutu dan sifat yang bervariasi, sesuai dengan "ke mana dan untuk apa" hasil produksinya nanti. Singkatnya, banyak option yang tersedia. Asal saja kita bisa bermain dan mengatur alias "merekayasa" rantai hidrokarbonnya.
Para aktivisnya berkeyakinan, "FR" akan berbicara banyak pada abad ini dalam dunia lingkungan dan manajemen plastik.
Terobosan lainnya adalah melalui air superkritis alias ScH2O (374 derajat Celsius dan tekanan 220 atmosfer). Air pada kondisi itu memiliki sifat yang berbeda dengan air pada kondisi normal, suhu kamar dan tekanan atmosfer. Ia berkemampuan melarutkan plastik serta menghasilkannya senyawa dasar awalnya, yang disebut monomer. Bukan itu saja. Ia pun mampu mengekstraksi, mendekom- posisi, sampai menghilangkan polutan dalam limbah.
Kelarutannya sangat tergantung pada suhu, konstanta dialektrika, dan massa jenis. Yang pasti, hasilnya bisa dipakai kembali sebagai bahan baku, malah dengan mutu yang sama.
Kelebihan ScH2O, harganya relatif murah, tidak beracun, serta tidak mudah terbakar. Selain itu, tidak menghasilkan karbon karena reaksinya berlangsung tertutup. ScH2O ditemukan Baron Charles Cagniard de la Tour (Perancis), 1821. Gunanya mendestruksi bahan berbahaya dan beracun, termasuk bahan mudah meledak, propelan, dan bahan senjata kimia. Hanya ketika itu aplikasinya belum optimal. Malah beberapa ilmuwan memandangnya dengan sebelah mata. Tetapi setelah ia meninggal justru menjadi inspirator bagi para kimiawan.
Sayangnya pada kondisi itu, air merubah menjadi asam. Otomatis mempunyai korosif terhadap bahan logam selaku komponen pada tempat proses pelarutan tersebut. Inilah problemnya. Para peneliti tidak diam. Mereka berusaha mengatasinya, agar tidak menimbulkan kerugian pada dinding reaktor dari bahan logam.
Hanya banyak pihak menganggapnya belum memberikan nilai ekonomis. ScH2O sendiri masih produk intelektual eksklusif. Artinya, hanya diketahui oleh segelintir manusia. Karena itu masih jauh untuk mencapai tingkat apresiatif.
Meskipun demikian tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak menindaklanjutinya secara kontiniu. Lagi pula masih banyak harapan bagi ditemukannya formula baru meskipun tetap dalam ruang lingkup ScH2O.
Yang pasti ScH2O harus benar-benar berwawasan lingkungan secara menyeluruh. Jangan sampai maksud untuk kelesterian lingkungan yang satu malah menimbulkan ekses pencemaran lingkungan yang lain.
Yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah mengubah paradigma: sampai kapan pun plastik "tidak bisa" larut dalam air. Lebih baik frase "tidak bisa" diganti "belum bisa". Meskipun sama-sama melukiskan ketidakmampuan, tetapi yang satu "tidak bisa" memberi kesan "kartu mati", sedangkan "belum bisa" memberi kesan "harapan kelak".
Tetapi ya sambil itu berjalan apa salahnya riset, eksperimen, dan produksi plastik dengan organik diseriuskan. Soalnya analisis ilmiah pun merekomendasikan bahan dari tumbuhan dan hewan untuk dijadikan plastik. Walaupun jenisnya masih sedikit serta berbentuk lapisan, namun bisa menjadi titik tolak untuk memproduksi plastik jenis itu untuk skala lebih besar, lebih kuat, dan lebih akomodatif. Siapa tahu kelak.***
(NSR, dosen)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar